Minggu, 13 April 2014

Kecelakaan di Dalam Rumah : Kepala Boneka yang Nyangkut di Lobang Hidung

Kawan, apa anakmu pernah kecelakaan di dalam rumah? Dua anak saya yang sudah agak besar, si Uni dan si Uda pernah kecelakaan di usia 2 tahunannya.  Fathimah yang saya pikir tidak akan ikut andil malah kecelakaan padanya membuat saya harus datang ke kantor Polsek.

Si Uni Aisyah kecelakaan di usia 2,5 tahun.
Kala itu Abinya membawa hadiah dari kantor dalam rangka memperingati ulang tahun BPKP. Abinya membawa 2 bungkusan. 1 bungkusan makanan dan satunya lagi bungkusan alat-alat tulis. Saya akui saya terlalai. Saya sibuk sekali karena usia bayi Hamzah kala itu baru 1 bulanan. Duh terasa banget repotnya karena kami gagal dapat pembantu. Sehingga bungkusan hadiah itu dibongkar-bongkar Aisyah bersama Abinya. Sedangkan saya sibuk dengan bayi Hamzah.

Ketika si Uni tidur siang, saya membereskan hadiah-hadiah yang berserakan. Tidak sedikitpun saya ngeh ada bagian dari pensil yang hilang. Sorenya ketika memandikan si Uni, dia tidak mau saya memencet hidungnya untuk membersihkan kotorannya. Dia malah menjerit ketika saya mencoba menyentuh hidungnya.
"Sakit, Mi." Aisyah kecil menangis. 
Dia tidak bisa menjawab sakit kenapa. Dia hanya tak bersedia hidungnya diperiksa. 
Saya masih ingat, kala itu hari Sabtu sore. Abinya ada acara di luar rumah dan esoknya ke Pelalawan. Sehingga saya terlupa untuk mencari tahu penyebab sakitnya hidung si Uni Aisyah. 
Malam itu saya tidur kelelahan. Setiap bangun untuk meneteki Hamzah, saya hanya melihat si Uni Aisyah tidur lelap.
Esoknya si Uni kecil mulai merengek-rengek. Dia mengeluh hidungnya sakit, tapi tak boleh pula diperiksa. Karena tidak tahan melihat si Uni kecil sakit, akhirnya saya mengatur siasat. Setelah menidurkan bayi Hamzah, saya mengajaknya bermain. Saya abaikan piring kotor dan rumah yang belum sempat tersapu. Saya membopong si Uni kecil, saya bujuk-bujuk.

"Katanya hidungnya sakit. Coba Ummi lihat."
"Ndak mau."
"Ayo Ummi lihat atau Kakek Dokter yang lihat, ya." Saya mengingatkannya pada paman Abinya yang dokter spesialis THT.
"Ndak mauu..."
"Jadi gimana, dong? Sini Ummi lihat ya, cuma lihat-lihat." 
Setelah cukup lama membujuk akhirnya si Uni kecil bersedia. Dan saya kaget melihat sesuatu yang merah mengintip saya dari dalam rongga hidungnya. Apakah itu? Sejujurnya saya mulai panik. Apa itu polip atau ada binatang yang ngendon di sana?

Perlahan saya mulai menanyai si Uni kecil.
"Itu kepala kelinci, Mi." Si Uni kecil menjelaskan. 
"Kelinci apa sayang?" Duh...duh dada saya bergemuruh.
"Itu lo hadiah dari kantor Abi." Si Uni kecilku yang tidak cadel menjelaskan dengan lantang.
"Uni masuk-masukan ke hidung, begitu ya?"
"Iya, Uni masukkan, tapi kemudian kepalanya lepas." Si Uni kecilku yang bijak menjelaskan sambil menangis.
"Sekarang bagaimana, masih sakit ya?"
"Iya."
"Ummi bilang apa kemaren itu ketika Abi ngasih kado itu ke Uni? Tidak boleh masuk-masukan mainan ke hidung. Ingat?"
Si Uni kecilku mengangguk-angguk ketakutan.

Sayapun panik. Segera saya menelpon Abinya untuk segera pulang. Sementara itu saya mulai bersiap-siap andai harus berakhir di tempat praktek kakek dokternya.

Ternyata si kakek memberi instruksi ketika Abinya mencoba konsultasi sebelum pulang ke rumah. Saya mengambil pinset lurus mesin obras. Membersihkannya dengan alkohol, kemudian memberikannya ke si Abi. Sementara saya sendiri langsung memeluk si Uni kecil yang sedang menahan rasa sakit yang semakin menaik di hidungnya.
Gregetan dengan kecemasan Abinya sehingga tidak bisa-bisa memasukkan pinset ke lobang hidung si Uni.  Saya merampas pinset itu dan kami berganti posisi.
Si Uni mulai menangis sakit ketika pinset masuk ke hidungnya dan menjepit kepala kelinci yang nyangkut. Duh Rabbi, mana lubang hidungnya kecil lagi. Namun saya bersyukur ternyata bagian telinga kelincinya yang berada di bagian luar. Syukurlah. Sehingga mudah saya menjepitnya.

Menjepitnya mudah. Tapi menarik jepitannya yang susah. Ternyata karena gelisah ada benda lain di dalam hidungnya, si Uni kecil menusuk-nusuk lubang hidung kirinya itu. Akibatnya kepala kelinci itu masuk semakin jauh.
Akhirnya saya bilang, andai si Uni kecil tidak menangis -karena tangisannya jelas-jelas menaikkan tingkat kepanikan saya- maka ia boleh mendapatkan sepeda dengan roda bantu yang diinginkannya.
Alhamdulillah si Uni kecil mengerti dan plup... Mainan itu ikut dengan pinset saya. 
Duh leganya.

Jam itu juga kami bertiga naik motor ke toko sepeda. Saya masih ingat, saya meninggalkan bayi Hamzah di box. Karena pasti susah bagi saya membawa sepeda sambil menggendong bayi.

Namun tak lupa saya mengomeli Abinya dulu, betapa ia harus benar-benar memperhatikan apa yang dipegang anak balita ketika bermain bersamanya.


Tidak ada komentar: