Minggu, 13 April 2014

Kecelakaan di Dalam Rumah : Potongan Gabus yang Sembunyi di Lobang Hidung

Lain pula dengan kecelakaan yang dialami Hamzah. 
Kala itu usianya pun 2 tahunan. Kejadian sekitar bukan Agustus, kira-kira usianya 2 tahun 5 bulan. Usia dimana ia sedang hobi memasuk-masukkan barang ke hidung, telinga dan mulut.

Kejadiannya Maghrib. Rumah tipe 36 kami masih asli. Sehingga ketika lampu mati terasa sekali betapa sempitnya rumah ini. Lampu mati. Gerah dan pengab.
Saya menitip Hamzah pada Uni Aisyah kecil yang belum genap 5 tahun, saya hendak sholat maghrib.

Tiba-tiba kekhusyukan saya terganggu. Saya mendengar bunyi nafas berat yang ditarik. Si Uni kecil dan si adek Hamzah yang juga masih kecil berdiri mematung di pintu kamar. Asli saya terganggu. Selagi sholat sampai melirik-lirik ke mereka berdua.
Saya baca saja ayat-ayat pendek. Sholat saya harus segera usai.

"Adek Hamzah memasukkan gabus ini ke dalam hidungnya, Mi." Si Uni Aisyah memberi laporan. Hamzah mematung sambil sesak nafas. Dia lagi flu dan hidungnya pun sudah tersumbat bahkan tanpa gabus sekalipun. 
Ya ALlah, saya benar-benar panik. Mana kala itu di Pekanbaru sedang mati lampu lagi.
Saya mencoba menjepit gabus itu pakai pinset obrasan saya. Sama seperti yang pernah saya lakukan ke si Uni Aisyah. Tapi malang, pinset berujung tajam itu malah mempreteli gabus itu. Setiap kena jepit, bagian gabus itu memilih berpisah dengan induknya yang masih ngendon di lubang hidung Hamzah.
Bagaimana ini?

Saya kemudian menelpon Abinya, memintanya segera pulang. Tapi sayang si Abi tak bisa bersegera kala itu. Tulang bahunya yang barusan sembuh karena patah menuntutnya untuk bergerak pelan. Sehingga untuk aktifitas luarannya, Beliau terpaksa menunggu antar jemput teman. Itu artinya si teman harus mengendarai mobil secara berhati-hati dan lambat. Manalah bisa sampai sesegera mungkin di rumah?

Kepanikan mendorong saya menelpon teman Abinya yang dokter, kebetulan kami tinggal di satu komplek. Namun sayang telpon saya tak diangkat karena mungkin nomernya tak dikenalinya.

Pikiran saya langsung tertuju pada kakek dokter yang tinggalnya agak jauh dari kami meski masih di satu kota. Namun dengan apa kami akan ke sana? Maghrib sudah usai, lampupun mati dan uang saya juga tidak banyak di dalam dompet.

Sebuah taxi lewat, saya hampir nekat menyetopnya. Soal bayaran saya bisa meminta tolong bayarkan dulu sama kakek dokter. Tapi ini si Uni Aisyah, dia menangis memohon-mohon agar saya naik angkot saja. Dia trauma naik taxi. Dan taxi itupun berlalu ketika saya membungkuk untuk membujuknya, betapa sebenarnya ini kondisi dalam bahaya.

Apalagi? Tak mungkin saya menitipkannya pada tetangga, saya merasa tak ada waktu untuk menjelaskan segala pertanyaan dari tetangga.
Akhirnya saya nekat ke rumah teman suami yang seorang dokter itu. Rumahnya gelap gulita, itu berarti ia masih di tempat prakteknya.

Kepanikan saya semakin tinggi. Hamzah makin sulit menarik nafas. Akhirnya saya berhenti di depan rumah bindan bersalin, tak jauh dari rumah saya. Apapun itu, tolonglah!
Namun sayang, si bidan sedang istirahat malam karena sebentar lagi bakal ada yang melahirkan di kliniknya.
Kesabaran saya sampai di puncaknya. Saya mendesak perawat pembantunya untuk memanggil si bidan. Si perawat menolak, dan saya tetap memaksa. Barangkali suara saya menjadi keras. Entahlah. Yang saya tahu kemudian si bidan keluar karena tertarik dengan kehebohan di ruangan prakteknya.

Saya menyerobot. Si perawat belum sempat menjelaskan saya sudah minta tolong duluan.
"Ya ALlah, Kak. Si Hamzah memasukkan gabus ke hidungnya dan ia sedang pilek. Tolonglah, nafasnya mulai sesak."
Si bidan yang hanya saya kenal sambil lalu ini karena kami sama-sama terhitung anak baru di komplek baru itu bergerak dengan cepat.
Dia mengambil pinset juga sama seperti saya. Dia juga mengolesinya dengan alkohol. Namun bedanya ujung pinsetnya tumpul sedangkan ujung pinset saya runcing.
Dan plup. Gabus yang sudah mekar bermandikan ingus itu keluar dengan suara merdu. Benar-benar melegakan perasaan saya. Huff... 
Dan Hamzah kecilku kembali bisa menghirup oksigen dengan bebas. Alhamdulillah, terima kasih ya ALlah.

Dan seperti cerita di pilem-pilem. Setelah bahaya berlalu, si Abi dan temannya yang naik mobil datang mengulurkan bantuan hendak mengantarkan kami ke kakek dokter.
Namun sayang, bantuan tak lagi diperlukan, bahaya sudah usai. 


Begitulah. Sesampai di rumah saya kembali mengingatkan anak-anak untuk tidak memasuk-masukkan benda apa saja ke lubang hidung, ke lubang telinga, ke lubung mulut, ke kemaluan bahkan ke anus, karena itu berbahaya.
Sejak saat itu kedua anak saya saling menjaga. Mereka akan langsung melapor bahkan jika yang satunya memasukkan tangan ke mulut.

***

* Kecelakaan di Dalam Rumah : Kepala Boneka yang Nyangkut di Lobang Hidung.   http://carito-anakmandeh.blogspot.com/2014/04/kecelakaan-di-dalam-rumah-kepala-boneka.html

Tidak ada komentar: