Senin, 22 September 2014

Kecelakaan di Dalam Rumah : Kaki yang Terborgol

Ketika Fathimah dengan sukses melewati usia 2 tahunannya tanpa kecelakaan yang sejenis dengan kakak-kakaknya, perasaan saya sungguh-sungguh lega. Tak bisa saya pungkiri itu. Saya sempat berfikir masa-masa itu akan lewat tanpa hambatan. Meski lega saya tetap mengingatkannya untuk tidak memasukkan benda-benda ke lubang-lubang yang dimilikinya. 
Sepertinya ia paham, itu terbukti bahkan ketika menjelang 5 tahunnya saya tidak lagi merasa mengalami stress menghadapi kecelakaan anak di dalam rumah.

Ternyata saya terlalu cepat berpuas diri. Di penghujung Pebruari 2014 ini saya harus membayar rasa berpuas diri yang terlalu dini. 


Kala itu saya membawa Fathimah yang baru 4,9 tahun ke kampung halaman saya. Kami pulang berdua saja karena saya ada urusan keluarga (saya). Masalah yang rumit dan tekanan yang keras membuat saya mencarikan kesibukan untuknya agar ia tidak mengganggu pikiran dan 'pekerjaan rumah' saya. Saya memberinya sebuah buku isi 40 lembar dan sebatang pensil. Saya mengajarinya berhitung matematika dasar yang sederhana yakni pengenalan penjumlahan dengan membuat gambar. Saya juga mengajari menulis namanya sendiri.

Namun namanya anak kecil, ya. Sesibuk-sibuknya ia dengan 'pekerjaannya' ia akan kembali ke pangkuan saya - umminya - dalam rangka mencari perhatian dan minta belajar bersama. Malangnya ia tidak mau bermain bersama neneknya ataupun dengan kakak saya.
Dan saya teledor. Mengasuhnya sebari mengerjaan 'pekerjaan' yang menguras waktu dan pikiran ternyata bukannya pilihan yang bijak.

Ia mulai melirik benda-benda yang ada di rumah neneknya. Dan matanya terpaku pada borgol yang tergantung di dinding. Kakak saya yang dipanggilnya Bunda mengambilkan borgol itu. Terlambat! Borgol sudah sampai di tangan Fathimah dan ia tidak berkenan mengembalikannya ke saya.
Saya sendiri seumur-umur baru sekali itu melihat borgol di dunia nyata tepat di depan mata saya. Info yang saya dapatkan dari Bundanya, borgol itu sudah tidak terpakai lagi. Saya coba mengutak-atiknya. 
Kemudian seperti biasa saya berpesan, " Fathimah, ini barang berbahaya, Ummi tidak mengerti mainan seperti ini. Tolong jangan memasuk-masukan tangan atau kaki ke dalam borgol ini. Apa Fathimah mengerti?" Seperti biasanya gadis kecil itu menjawab, "Iya, Amah ngerti, Amah janji."

Selama ini ia terbukti sudah menjaga kepercayaan saya dan saya percaya pula kali ini. Saya kembali sibuk dengan pekerjaan dan Fathimah bermain di kursi sofa tidak jauh dari saya. Sesekali saya mendongakan kepala untuk melihat aktifitasnya. Dan ia membalas perhatian saya dengan senyum semanis madunya.
Setelah target saya hari itu selesai, saya bergabung untuk bermain dengannya. Dan kami mencari permainan baru sehingga ia harus rela melepaskan borgolnya.

Esoknya saya kembali punya target pekerjaan dan Fathimah kembali memilih mainan borgol setelah ia lelah bermain dengan buku dan pensilnya. 
Sebenarnya saya agak khawatir karena borgol di mata saya tak ubahnya memberi anak mainan pisau. Tapi Fathimah membuat alasan agar dirinya pantas untuk dipercayai. Apa daya? Saya kembali memberinya kepercayaan plus dengan nasehat yang sama. 
Kembali saya harus menyelesaikan target harian saya sebari mengasuhnya. Dan buah kepercayaan saya yang saya akui agak sedikit salah kaprah itu menuai hasilnya. Mainan di tangan Fathimah telah mempermainkannya.

Sikap ingintahunya yang tinggi ternyata telah mendorong Fathimah untuk melanggar janjinya dengan saya. 
Musibah itu terjadi.
Tiba-tiba ia berdiri dalam diam di depan saya. Kemudian ia mulai menjongkok untuk melihat raut wajah saya. Insting saya segera membunyikan alarm. Saya menutup pekerjaan yang belum selesai dan fokus padanya. Melihat raut mukanya saya jadi bertanya, "ada apa, Fath, ayo bilang sama Ummi."
Gadis kecil itu terdiam dengan wajah bersalah namun terlihat tenang. Saya katakan tenang karena tidak sedikitpun saya melihat riak di matanya ataupun ekspresi kesakitan. Yang jelas terlihat di mata dan di air mukanya adalah seuntai kalimat, "Maaf Ummi, Fathimah telah melanggar janji."
Kemudian ia menunduk melihat ke kakinya dan sayapun mengikuti arah pandangan matanya.

Ya Tuhan...borgol itu telah mengcengkeram betis kaki kirinya. Saya mencoba mengutak-atiknya tapi malah makin terkunci. 
Please deh, prend, jangan menceramahi saya tentang ini dan itu, bukankah sudah kukabarkan bahwa seumur-umur baru itu saya melihat borgol tepat di depan mata saya?
Tak saya pungkiri saya mulai panik. Kebiasaan saya sebagai emak-emak yang suka 'berceramah' mulai kumat. "Ummi bilang apa tadi Fath, jangan dimasuk-masukan kaki atau tangannya di borgol, apa Fathimah lupa."
Fathimah memeluk saya dan bilang, "Maaf, Mi, maafkan Amah, Amah janji ndak akan Amah ulang lagi."
Saya luluh dan tersadar. Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan? Pasti anak ini sudah cemas dan ceramah saya pasti akan menambah kecemasannya. Bagaimana kalau ia menjadi panik dan menjadi tidak kooperatif? Kan kepanikan saya juga yang akan semakin bertambah.

Saya mulai menenangkan diri dan berfikir apa yang harus saya lakukan. Nenek dan Bundanya juga termenung tak tahu harus berbuat apa. "Om Et bilang borgol itu kuncinya sudah hilang," penjelasan si Bunda menambah kepanikan saya. Dan si Om itu sedang di benua lain. Ke siapakah saya harus berdiskusi?
"Bund, tolong telponkan ojek si Wir, bilang dia tolong antarkan Ummi." Saya masih bingung harus kemana, yang jelas saya harus keluar rumah mencari pertolongan. Ada 2 tempat yang berada dalam pikiran saya. Ke UGD RSUD Solok atau ke kapolsek di Kapalo Koto Selayo.

Keputusan baru bisa saya ambil setelah si Wir si tukang ojek berdiri dengan cemas di depan saya karena saya menggendong anak yang tercengkeram borgol kaki kirinya.
"Uni mau diantar kemana?" Si Wir menanyai tujuan saya.
"Ke kapolsek dulu, itu yang paling dekat, siapa tahu mereka punya kunci serep."
Dan saya mendudukkan Fathimah di pangkuan saya, sebari memeluk dan menciumnya tanpa kata-kata. Saya hanya ingin ia merasakan bahwa saya minta maaf telah memarahinya. Saya ingin ia tenang agar saya tidak semakin panik. Meski berusaha tenang saya tidak terfikir untuk memberinya kain sarung agar pahanya tertutup. Seperti orang bodoh saya memakaikannya baju lengan panjang dan memakaikannya jilbab, dan saya menenteng celana panjangnya. Saya telah membiarkan pahanya terbuka dan tertiup angin. 
Sambil dibonceng saya berdoa dalam diam semoga ALlah membantu saya dalam menyelesaikan kisah borgol ini tanpa melukai anak saya.

Kedatangan saya dengan anak dalam pangkuan yang kakinya terborgol telah menyita perhatian beberapa polisi. Mereka bersegera menyongsong saya.
"Assalamu'alaikum, Om."
"Wa'alaikum salam. Ada apa, Buk?"
"Tolong dong Om, ini anak saya bermain borgol dan jadi seperti ini."
"Kuncinya mana, Buk?"
"Nah itu dia, kuncinya hilang. Ini punya Oomnya di rumah."
"Oom-nya kemana?"
"Ke Amerika."
Tanpa banyak tanya, 2 orang polisi muda langsung menuju ke tempat gantungan kunci- kunci borgol. Mereka saling diskusi untuk memakai kunci yang mana, yang ini ataukah yang ini? Dari obrolan mereka saya tahu ternyata borgol di kaki anak saya ini adalah borgol keluaran lama. Sudah tidak ada lagi edisinya.
Oh...jangan tanya betapa paniknya saya mendengar itu, prend.

"Aduh gimana nih, Om? Saya tadi bingung ke sini dulu atau ke UGD rumah sakit. Saya pikir lebih baik ke sini dulu, di sini kan rumahnya borgol." Saya mencoba melerai rasa cemas dengan mengajak polisi itu bercakap-cakap.
"Tenang Buk, kita coba dulu ya, coba kita pakai kunci ini mudah-mudahan bisa. Mudah-mudahan borgolnya belum memakan daging kakinya."
Duh...duh, detak jantungku bertalu-talu mendengarnya, kepalaku memberat dan terasa panas.  Lalu polisi itu mendekati saya dan Fathimah. 

Sambil mengendong Fathimah saya berkata, "Fath, borgolnya dicoba buka sama Oom polisi ini, ya. Oomnya baik kok, ayo kita temenan."
Alhamdulillah, polisi itu menyambut baik cara saya dan mencoba mengimbanginya. "Ayo dek, siapa namanya?"
"Fathimah."
"Sudah sekolah belum?"
"Sudah."
"Kelas berapa?"
"A1"
"Dia masih TK, di kelas A1," saya mencoba menjelaskan karena terlihat polisi itu bingung mendengar jawaban Fathimah.

Dan ALlahu akbar, borgol itu terlepas hanya dengan sekali putaran. Ceklek!
Prend, tak perlu kukabarkan bukan?  Tentang betapa leganya hatiku. Tentang betapa ringannya rasa kepalaku.

***

*Kecelakaan di Dalam Rumah : Kepala Boneka yang Nyangkut di Lobang Hidung.    http://carito-anakmandeh.blogspot.com/2014/04/kecelakaan-di-dalam-rumah-kepala-boneka.html
*Kecelakaan di Dalam Rumah : Potongan Gabus yang Sembunyi di Lobang Hidung.  http://carito-anakmandeh.blogspot.com/2014/04/kecelakaan-di-dalam-rumah-potongan.html#more



Tidak ada komentar: